Info Delegasi
Pengadilan Tinggi
Logo Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Jl. KH. Agus Salim, Kota Baru - Jambi

Telp. 0741-40131, Fax. 0741-445293, Email : ptajambi@yahoo.com

Logo Artikel

7245 MEMBACA III

Membaca III

GEDUNG PTA OK

 

Tulisan ini masih di seputar membaca yang mengajak kepada kita untuk berfikir mendalam. Pada kesempatan ini akan membicarakan aspek kedua membaca dari sisi formatif bagaimana membaca sebagai proses pembentukan daya pikir dan pemberdayaan individu.

Dalam pembahasannya dari aspek formatif, membaca sangat penting karena:

Membaca membentuk cara berpikir atau cara kita memahami realitas. Otak manusia sebetulnya memiliki neuroplastisitas: ia terus-menerus membentuk ulang dirinya sendiri. Kecerdasan adalah sesuatu yang berkembang dan bertumbuh, tidak mandeg seperti yang dikira dahulu. Semakin kita mengaktivasi otak kita dengan berbagai cara, kemampuan otak semakin dipercanggih. Ada paradoks juga di sini: bila pisau semakin sering dipakai semakin tumpul, otak sebaliknya, semakin dipakai justru semakin tajam. Salah satu cara yang tepat dan sehat untuk mengaktivasi sel-sel otak kita adalah dengan sering membaca. Membaca akan merangsang terbentuknya sinapsis-sinapsis baru (persambungan) antar jaringan syaraf otak, yang pada gilirannya semakin memampukan kita menghubungkan banyak hal yang tadinya seperti tak terhubung, menganalisis secara kritis, membuat sintesis, dan sebagainya. Dan itulah hakikat kecerdasan. Ketika membaca, kita dipaksa untuk melihat dan mengenali apa yang penting dan apa yang tidak penting; mana poin utama, bagaimana alur penalarannya, apa kesimpulannya, dan seterusnya.

Membaca memperdalam cara pandang dan memperluas imajinasi. Ini terutama kalau kita membaca novel. Novel merekam jatuh-bangunnya manusia, merekam kerumitan emosi dan imajinasi manusia. Bila buku-buku ilmiah bernilai karena berisikan gagasan-gagasan yang bersifat universal, novel berharga justru karena dia merupakan tulisan individual; bagaimana kehidupan dijalani secara unik dan dipahami dari perspektif pribadi. Ini penting untuk lebih memperjelas bahwa bagi setiap orang, hidup itu memang dialami dan dipahami secara berbeda-beda. Maka untuk memahami kompleksitas kenyataan hidup tidaklah cukup kita hanya menggunakan sains. Sains penting untuk menangkap fakta dan pola. Seni (sastra) penting untuk menangkap makna, imajinasi dan rasa. Hidup manusia adalah soal makna, soal apa yang dirasa berharga, apa yang diimajinasikannya sebagai cita-cita. Dan ini memang bersifat pribadi, terkait pada pengalaman, perasaan, imajinasi, impian, yang memang berbeda-beda. Makin banyak kita membaca novel, semakin kita masuk ke dalam aneka bentuk kehidupan yang sebetulnya pelik. Misalnya, apa sebenarnya yang membuat seseorang itu menderita, termotivasi bekerja, berjuang, terluka, bermimpi; apa yang dianggapnya bahagia, dan sebagainya. Dengan cara itu, empati dan toleransi kita terhadap sesama manusia ditumbuhkan dan diperdalam. Membaca novel sebenarnya bukan sekadar pengisi waktu luang atau hiburan, meskipun memang menyenangkan. Di dunia Barat, sejak sekolah dasar, anak-anak dibiasakan membaca novel-novel klasik, seperti karya Alexander Dumas, Victor Hugo, dan sebagainya. Di dunia Barat, para sastrawan besar memang dikategorikan satu kolam dengan para filsuf, sebab mereka itu sesungguhnya perenung, yang menyelami dilema, misteri, dan dinamika kehidupan manusia. Mereka mampu merumuskan secara mendalam dan menyentuh hal-hal yang biasanya tak terumuskan.

Membaca memperbaiki keterampilan berbahasa dan berkomunikasi. Kalau kita tak membaca, kemampuan komunikasi dan keterampilan menulis kita pasti buruk. Dan itu sumber penyakit di Indonesia hari ini. Beliau menyaksikan bagaimana umumnya orang-orang Indonesia membuat skripsi, tesis, atau disertasi dengan bahasa dan alur nalar yang parah. Itu karena umumnya mereka baru intens membaca ketika hendak membuat skripsi atau disertasi saja. Membaca dan menulis bukan merupakan kebiasaan yang membudaya. Kebiasaan membaca akan mengakrabkan kita dengan frasa-frasa, kalimat-kalimat, atau alur nalar, yang bagus dan mendalam. Dengan itu, otomatis kita akan menggunakan keterampilan serupa ketika harus menulis.

Membaca melatih konsentrasi dan fokus. Anak-anak sekarang sepertinya sulit berfokus, karena di dunia digital, konsentrasi selalu terpecah (distracted concentration). Membaca buku—terutama yang tebal—membantu melatih fokus dan konsentrasi.

Membaca memperkuat daya ingat: mengingat tokoh-tokoh dan alur cerita pada novel, mengingat isi gagasan dan alur nalar pada buku wacana.

Membaca membentuk pikiran dan memperkuat sikap individual. Di Indonesia ada ironi: dari sudut sikap mental, orang-orang Indonesia sangat individualistik (egoistik), seperti terlihat pada perilaku berlalulintas di jalanan; tapi dalam cara berpikir, umumnya sangatlah kolektivistik, latah, dan ikut-ikutan.

Membaca membentuk pikiran sikap pribadi. Rendahnya membaca membuat sikap personal kita tidak terbentuk. Akhirnya kita bermental kawanan terus. Bangsa Indonesia sejak reformasi dari sudut mental sangat egoistik seperti di jalanan di lalu lintas semua mau menang sendiri, tapi dalam cara berpikir sangat kolektivistik (latah), yaitu apa yang dipikirkan orang, itu pula yang kita dipikirkan kontradiksi yaitu individulitas kita yang mentah. Kita sedang belajar menjadi individu, menjadi sangat individualistik tapi itu individualitas yang mentah, cara itu tragis dan bisa sangat anarkhis.

Membaca, membentuk empati atas kemanusiaan universal. Otomatis makin kita luas membaca makin kita dapat me- rontgen kehidupan manusia di berbagai tempat, kita jadi tahu perasaan. Kita punya stereotip kalau orang buletin begini orang Jepang begini. Begitu kita membaca karya-karya mereka, lain persepsinya kita seperti menyelami kehidupan mereka lebih dalam dan empati kita akan makin terbentuk.

Orang Indonesia itu sangat egoistik , menjadi dogmatis dan sangat stereotip tipikal kalau chinese begini negro itu begini apalagi dalam hal agama, kalau agama A begini B begini dan yang membuat rentan sekali kita konflik yang mestinya tidak perlu.

Kita rentan sekali menghancurkan diri sendiri, karena stupid kita mengira berbuat sesuatu demi agama tetapi diam-diam cara kita memperlakukan agama merusak agama itu sendiri, sering kali itu tidak kita sadari. Itu kerentanan-kerentanan akibat kita tidak membaca.

Demikian, mentalitas orang Indonesia yang umumnya masih egoistik , mentah, dan latah, disertai cara berpikir yang picik, dogmatis , dan naif, bila tidak dikembangkan dan diperdalam oleh budaya baca-tulis yang baik, bisa membawa kita kepada bermacam konflik atas hal-hal remeh-temeh yang tidak penting. Urgensi budaya literasi ini, bila diabaikan, bisa mendorong kita kepada penghancuran diri sendiri secara konyol tanpa disadari.       Membaca memperdalam dan memperluas kemanusiaan kita, tapi juga membimbing kita ke tingkat keadaban lebih tinggi.

Semoga bernanfaat dan menjadi pembelajaran bagi kita.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

 

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 26 September 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.

 


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas