Info Delegasi
Pengadilan Tinggi
Logo Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Jl. KH. Agus Salim, Kota Baru - Jambi

Telp. 0741-40131, Fax. 0741-445293, Email : ptajambi@yahoo.com

Logo Artikel

7207 NIKAH SIRRI DALAM HUKUM POSITIF

Nikah Sirri Dalam Hukum Positif

PERADILAN AGAMA

Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam, di samping harus dilakukan menurut hukum Islam, juga setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).

Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada di antara masyarakat kita (muslim) dengan berbagai alasan melakukan pernikahan di bawah tangan, dalam arti pernikahan tersebut, tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Fenomena semacam ini dalam masyarakat kita, lebih dikenal dengan istilah nikah sirri.

Model pernikahan (sirri) antara seroang pria dan seroang wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang, akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut tatacara agama sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, walaupun orang kaya akan tetapi tidak mau repot dengan berbagai macam urusan aministrasi dan birokrasi sehingga lebih memilih nikah sirri saja. Pernikahan semacam ini juga mungkin terjadi, misalnya dalam beberapa kasus kawin poligami liar, pernikahan dilaksanakan tidak di hadapan dan dicatat oleh PPN karena tanpa sepengetahuan isteri pertama.

Permasalahan Nikah Sirri

Muncul pertanyaan bagaimana penerapan hukum perkawinan terhadap masayarakat muslim Indonesia dan bagaimana kedudukan nikah sirri dalam perspektif hukum positif tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternatif sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.

UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (dalam hal ini Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami harus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang, yaitu: isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

isteri tidak dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)

Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut: adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;

adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;

adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;

Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relatif sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.

Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan perkawinan clandenstine dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan clandenstine adalah perkawinan yang keberlangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu.

Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena kelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.

Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990. Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.

Kedudukan Nikah Sirri

Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu pertama, perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.

Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternatif, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemik berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas.

Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.

Dalam Rumusan hukum Kamar Agama Tahun 2012 (SEMA Nomor 04 Tahun 2012), dinyatakan, "Pada prinsipnya nikah sirri dapat diistbatkan sepanjang tidak melanggar undang-undang. Kekuatan hukum itsbat nikah sama dengan kekuatan hukum Akta nikah (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Sangat menarik, hukum perkawinan saat ini juga diatur dalam hukum pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP yang akan diberlakukan dan diundangkan secara resmi mulai 1 Januari 2026.

Perkawinan dalam KUHP (baru) UU Nomor 1 Tahun 2023

Berikut bunyi Pasal 402 (1)

"Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, Setiap Orang yang:

melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut; atau melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan yang ada dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut".

(2) "Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menyembunyikan kepada pihak yang lain bahwa perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".

Pasal 403

"Setiap Orang yang melangsungkan perkawinan dan tidak memberitahukan kepada pihak lain bahwa baginya ada penghalang yang sah, dan berdasarkan penghalang tersebut perkawinan kemudian dinyatakan tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".

Pasal 404

"Setiap Orang yang tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaporkan kepada Pejabat yang berwenang tentang kelahiran, perkawinan, perceraian, atau kematian, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II".

Pasal 405

"Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 403 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf d dan / atau huruf e".

Dengan demikian apa bila ada warga negara yang melakukan nikah sirri berdasarkan aturan baru ini, negara bisa bertindak untuk memidanakan bagi setiap orang yang melanggarnya. Oleh karena itu pelaku nikah di bawah tangan atau nikah sirri selain berurusan dengan hukum perdata juga diancam dengan hukum pidana.

Dari uraian di atas dapat diturunkan beberapa kesimpulan bahwa pernikahan sirri atau pernikahan tanpa pencatatan baik nikah tunggal maupun karena poligami, adalah pernikahan yang illegal, Ini terjadi disebabkan kurangnya pemahaman hukum dan minimnya kesadaran hukum dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan mereka.

Pernikahan di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi, pernikahan sirri merupakan perbuatan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum dalam sebuah negara hukum bernama Indonesia. Selain itu mulai 1 Januari 2926, pelaku nikah di bawah tangan atau nikah sirri akan berhadapan alat negara. Oleh sebab itu masyarakat Islam Indonesia harus menghindari praktek perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri tersebut. Pertanyaan yang menggelitik, jika negara memidanakan pelaku nikah di bawah tangan (sirri) apakah kasusnya dibawa ke pengadilan negeri atau ke pengadilan agama, kita tunggu kebetlakuannya nanti di tahun 2026.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

 

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 26 Agustus 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.

 


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas