Renungan Singkat Dibalik Pancasila Sakti
RENUNGAN SINGKAT DIBALIK PANCASILA SAKTI
Oleh: Ahmad Syafruddin
(Hakim pada Pengadilan Agama Sungai Penuh)
Pagi di 1 Oktober 2018, hati terbersit untuk menorehkan sekepal tulisan berkenaan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Sebagaimana biasa, hal ini acap penulis lakukan sekedar pemenuhan terhadap kuriositas diri. Mempertanyakan sesuatu tentang makna dibalik sebuah keadaan atau peristiwa yang diikuti maupun dilaksanakan. Upacara Hari Kesaktian Pancasila. Sungguh dan benarkah Pancasila kita sakti, masih sakti, atau justru kesaktiannya berangsur-angsur telah mulai hilang atau terlucuti?.
Pertanyaan sedemikian di atas, mengenang jasa-jasa para guru, sebenarnya kerap dimunculkan dan dijadikan bahan pertanyaan. Bahkan tidak jarang menjadi soal ujian sewaktu masih di tingkat pendidikan lanjutan pertama waktu dahulu. Kala itu, bila antar sesama siswa diam, tidak mengerti atau tidak mengetahui jawabannya pada saat dilontarkan pertanyaan sedemikian maka sang guru akan menjawab dengan pendekatan historis. Bahwa Pancasila sudah berulang kali didera batu sandungan maupun ujian untuk dicoba diganti dengan ideologi lain selain Pancasila. Periodesasi hantaman ideologis terhadap Pancasila itu ternyata selalu gagal dan pada akhirnya mengerucut menjadi kesadaran bangsa Indonesia di mana Pancasila sematalah yang memiliki kejiwaan serasi dengan Indonesia sebagai bangsa maupun negara. Pancasila adalah landasan ideal. Begitu biasanya kesimpulan yang disampaikan sang guru pada masa itu untuk mengakhiri jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan.
Tulisan ini sesungguhnya tidak ditujukan membahas tentang batu sandungan dan ujian apa yang telah dikalahkan dan dilumpuhkan oleh saktinya Pancasila. Narasi yang coba dikedepankan di ruang tulis ini adalah berusaha menyapa dengan pertanyaan substantif terkait Pancasila yang diperingati hari ini. Apakah Pancasila telah senyatanya membumi di negeri tercinta?. Bagaimana dengan sila-sila dari Pancasila itu, sudahkah dihidupkan dengan penuh kesadaran dan keyakinan mendalam?. Atau justru nilai-nilai luhurnya, secara sadar ataupun tidak, telah terinjak dan terpijak oleh kaki-kaki kita sendiri di tengah gema Pancasila dari mulut-mulut kita.
Jika berkenan untuk penulis simpulkan maka Pancasila memiliki ruh yang teramat sangat fundamental. Ketuhanan, Kemanusiaan, Keadilan, Keadaban, Persatuan, Kerakyatan yang dipimpin Hikmat dan Kebijaksaan, Permusyawaratan/Perwakilan, serta muara Keadilan Sosial. Pada saat ruh ini telah tidak ada dan atau terkurangi apalagi teringkari maka bangunan yang telah dan terus didirikan di atas landasan kokoh berbangsa bernegara ini masihkah sempurna berpola format Pancasila?. Atau justru telah menjadi garis-garis putus dan bahkan garis acak tak beraturan yang tidak memperlihatkan format sesungguhnya sebenarnya lagi.
Lingkup sederhana saja, seringkali ketuhanan sekedar dimaknai hanya ketika ibadah dan ritual agama belaka. Tuhan hanya dikenal, diingat, dan disebut semata-mata pada saat beribadah kepadaNya atau sedang berada di rumahNya. Namun tidak untuk saat setelah selesai ibadah dan atau setelah keluar dari rumah tempat peribadatan. Seorang manusia yang berTuhan sulit terpahamkan tidak memiliki “ketakutan” terhadap Tuhan apalagi sampai berakhir pada celaan atas Tuhan. Padahal telah diyakini di mana Tuhan adalah Maha Atas Segala-galanya.
Ketuhanan melahirkan keyakinan hakiki bahwa yang nyata maupun tersembunyi, jahat maupun baik, patuh atau ingkar, adalah telah pasti sepasti-pastinya bertolak belakang dan tidak pernah akan sama setara sampai bila kapanpun. Namun kenyataannya di antara kita, bisa saja termasuk penulis di dalamnya, justru lebih banyak “memperalat” Tuhan bahkan “menipu” Tuhan dibalik kelihaian silat lidah sampai pada kebijakan yang dipilih atau diambil menurut otoritas masing-masing. Sunggguh sering Tuhan dilupakan dan hanya memelukNya pada ketika situasi telah berbanding terbalik dengan keinginan.
Tidak jauh beda dengan ruh fundamental kemanusiaan. Betapa sering dan berulang-ulang seluruh fikir tindak kita seolah-olah manusia itu hanya dan adalah diri sendiri, keluarga belaka, atau golongan belaka. Manusia lain di luar dari pada itu semua terbiar tersisih dan terbuang laksana Tuhan telah salah cipta. Mereka seakan-akan bukan manusia yang memiliki hak sama untuk dimanusiakan. Menipu, memeras, membodohi, menjual, “memperkuda” manusia lain demi dan untuk kesenangan kemanusiaan diri sendiri dan bahkan tidak tanggung-tanggung sampai pada menghilangkan eksistensi kemanusiaan itu sendiri. Sayangnya, di tengah perilaku yang tidak memanusiakan itu senyuman manis diiringi gelak tawa masih hingar bingar menghiasi ruang telinga. Tidakkah yang demikian justru membuktikan secara nyata penggerogotan terhadap hakikat kemanusiaan itu. Menggeser kemanusian diri kepada posisi yang bukan manusia.
Begitu seterusnya bila hendak diurai satu demi satu akan ruh fundamental Pancasila tentang keadilan, keadaban, persatuan, kerakyatan yang dipimpin hikmat dan kebijaksaan, permusyawaratan/perwakilan, serta muara keadilan sosial di ruang tulis yang sempit ini. Kiranya jangan sampai menjadikan kita adalah manusia-manusia pentertawa bagi diri sendiri. Mengingkari diam-diam keluhuran Pancasila sakti. Atau lebih jauh, menjadikan perisai legitimasi diri atas tuntutan kehendak pembumian murni sang Pancasila sakti.
Mari wujudkan nyata ruh fundamental Pancasila sakti sedari dini, dari diri sendiri, hingga seantero pelosok negeri. Untuk semua aspek sikap tanduk sehari-hari, terstruktur, dan tersistem rapi dibingkai NKRI. “Selamat Hari Kesaktian Pancasila” bagi bumi pertiwi. Salam keadilan!. Wallohu a’lam.
Sungai Penuh Kota Sakti, 1Oktober 2018.
Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas