Menghukum itu Mudah Memberi Keadilan yang Sulit
Menghukum itu Mudah Memberi Keadilan yang Sulit
Oleh: Ahmad Syafruddin
(Hakim pada Pengadilan Agama Sungai Penuh)
Tulisan kali ini tidaklah ditujukan untuk memberi komentar apalagi menuturkan persetujuan atau tidak akan mengalirnya wacana hukuman kebiri sebagai pemberatan atas pelaku tindakan kekerasan seksual anak yang kekinian deras dibahas. Tulisan ini lebih menukik bagaimana sesungguhnya psikologi tugas dan fungsi hakim yang diserahi amanat mengadili berdasarkan ketuhanan sebagaimana irah-irah putusannya, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam paparannya akan lebih fokus pada hukum keperdataan di lingkungan Peradilan Agama sesuai bidang yang penulis geluti. Namun begitu bukan berarti menegasikan penerapannya di luar dari pada hukum keperdataan. Bagaimanapun, ruh setiap putusan yang dilahirkan oleh hakim pada prinsipnya adalah sama. Berusaha secara sungguh-sungguh dibarengi daya upaya maksimal menjelmakan wujud nyata keadilan atas nama Tuhan terhadap perkara apapun bagi para pencarinya. Tidak peduli perkara itu berkelas “kakap” atau “teri”.
Penulis percaya bahwa ungkapan “ini baru adil” dan atau “ini tidak adil” cukup akrab terdengar di telinga atau kerap melintas di pikiran. Ungkapan tersebut acap serempak dan bersama-sama dilontarkan seseorang atau sekelompok orang tanpa didahului suatu perencanaan ataupun persepakatan sebelumnya. Singkat kata, terucap dengan spontan pada saat suatu putusan atau keputusan diberlakukan dan atau dijalankan bagi seseorang atau sekelompok orang. Sudut lainnya, penulis juga percaya bahwa ungkapan seseorang atau sekelompok orang yang mengemukakan “bagaimana ini?, hukum memang tidak adil” dan lain semisalnya juga tidak asing terdengar di telinga. Seseorang atau sekelompok orang secara sadar memancangkan jauh di lubuk hatinya bahwa hukum berpihak bukan untuk semua orang, siapapun saja. Hukum tegak hanya bagi orang-orang tertentu saja dengan keutamaan yang dipunya.
Bengawan peradilan Indonesia, Bagir Manan, pada suatu kesempatan pembelajaran pernah mengutarakan yang sekira penulis rumuskan adalah bermakna apabila hendak menghukum lakukanlah sebanding dengan kemampuan yang dihukum. Bukan menghukum di luar kemampuan atau sama sekali tidak logis sehingga tidak akan dapat dilaksanakan atau dipenuhi oleh si terhukum. Bagaimana tidak, sulit dijangkau pemikiran seandainya seseorang dihukum, penjara misalnya dalam hitungan bulan, menyertakan klausula apabila tidak dijalankan maka dapat diganti dengan hitungan denda bernilai miliaran. Padahal senyatanya si terhukum adalah orang yang sama sekali tidak memiliki harta kekayaan. Poin yang terpetik di benak penulis ketika itu bahwa menghukum harus memiliki rasionalisasi yang matang. Bukan demi tujuan gengsi, supaya hebat atau dianggap hebat ataupun untuk gagah-gagahan. Ungkapan yang menghakimi bahwa apa saja jika masuk pengadilan maka akan dihukum sudah terlalu sangat tidak relevan zaman sekarang ini. Harus dikembalikan kepada ruh pengadilan, yakni keadilan.
Umar ibnu Khattab di zamannya pernah menghukum di mana zakat tidak diberikan kepada muallaf. Sesungguhnya Allah SWT secara sharih telah mensyariatkan lewat daulat titah suciNya bahwa muallaf merupakan satu di antara kelompok atau jenis yang berhak menerima zakat. Pertanyaan kemudiannya adalah apakah Umar ibnu Khattab telah melakukan pengingkaran terhadap hukum Tuhan?. Menciptakan hukum baru?. Atau bahkan menunjukkan kepada siapa saja jika hukum Tuhan telah takluk di bawah putusan seorang manusia bernama Umar?. Atau justru Umar ibnu Khattab telah menghukum berdasar peristiwa atau fakta kongkritnya sehingga bukan hukum yang berubah melainkan penerapannya yang diselaraskan dengan maksud dan tujuan hukum, maqoshid al ahkam?.
Peradilan Agama berdasarkan kewenangan yang termaktub dalam Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tegas memuat dalam penjelasannya bahwa hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syariah adalah merupakan dan menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Di antaranya disebutkan perceraian karena talak, gugatan perceraian, penguasaan anak-anak, ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya. Klausula hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku sesungguhnya dapat dimaknai sebagai kewenangan limitatif namun terbuka karena dapat diterobos dengan penyertaan klausula yang dilakukan menurut syariah. Dengan ini sepanjang peristiwa apa saja yang diatur oleh undang-undang berkaitan dengan masalah perkawinan serta terlingkup syariah apabila terkoneksi peradilan maka peradilan itu bernama peradilan agama.
Perkara terbanyak yang diadili Pengadilan Agama hingga detik ini secara faktual adalah perkara perceraian karena talak dan atau perkara gugatan perceraian. Selain karena alasan pengadilan hanya bersifat menerima, bukan mencari, yang paling nyata adalah kesadaran hukum masyarakat yang paling tinggi untuk memperoleh keadilan baru yang terkait dengan urusan tersebut, perceraian an sich. Bahkan akibat langsung yang ditimbulkan dari terjadinya perceraian itu saja–hak-hak isteri, anak, dan harta bersama–kebanyakan tidak dipersoalkan dan atau dijadikan soal oleh suami isteri yang bercerai tersebut ke pengadilan. Di mana simpul masalah sesungguhnya?. Hukumnyakah, hakimkah, pengadilankah, pihak pengajukah, atau pihak pensosialisasi hukumkah, atau pencipta hukum itu sendirikah?. Bukankah kewenangan peradilan agama jauh lebih luas dan besar dari pada sekedar perceraian. Apabila kenyataan ini dikaji lebih kritis sesungguhnya antara hukum dalam perspektif normatif atau yuridis sudah tegak berhadap-hadapan dengan hukum dalam perspektif sosiologis atau empiris. Antara hukum sebagai alat perubah sosial dengan hukum sebagai manifestasi sosial. Antara hukum sebagai norma yang harus dipatuhi masyarakat dengan efektifitas hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan juga masalah politik hukum nasional.
Jenis perkara perceraian karena talak dan atau gugatan perceraian yang diajukan di Pengadilan Agama pada umumnya suami isteri bersangkutan telah dianugerahi anak atau beberapa orang anak. Namun hebatnya perkara ini tidak sebanding lurus dengan tuntutan supaya anak yang terdampak dari akibat perceraian orang tua ditetapkan hak asuhnya kepada salah satu dari orang tua anak. Baik secara sendiri-sendiri dalam bentuk gugatan hak asuh (hadhanah) maupun kumulatif dengan perceraian suami isteri. Bahkan ada yang hanya menuntut biaya hadhanah tanpa tidak mempersoalkan sedikitpun dengan putusan pengadilan agar salah satu dari kedua orang tua ditetapkan menjadi pemegang hak atau diberi hak akan hadhanah anak. Anak telah nyata-nyata diasuh oleh isteri dan hidup bersama dengan isteri ditambah lagi suami isteri itu sama sekali tidak menginginkan, tidak mau mempersoalkan atau menjadikan sengketa siapa yang wajib ditetapkan untuk diberi hak hadhanah menurut hukum lewat putusan pengadilan.
Pertanyaannya adalah dapatkah ditarik satu jawaban kesimpulan karena tidak menetapkan atau menentukan salah satu dari kedua orang tua anak sebagai pemegang hak asuh menjadikan hakim peradilan agama yang menjatuhkan putusan perceraian ikut andil atas meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak di Indonesia[1]?. Atau wajibkah menurut hukum supaya hakim yang mengadili perkara perceraian karena talak dan atau gugatan perceraian menetapkan salah satu dari kedua orang tua anak sebagai pemegang hak asuh anak?. Kewajiban tersebut apakah melekat bagi hakim yang mengadili atau melekat pada pihak yang berperkara?.
Filosofi hakim sesungguhnya adalah mengadili. Bahkan dengan menggemakan nama Tuhan Yang Maha Esa. Bukan an sich pelaksana hukum atau corongnya hukum sebagai pembeda dari aparat hukum lain. Mengadili berakar makna adanya suatu kewajiban proses serta tahapan yang wajib demi hukum dilalui oleh hakim untuk melahirkan setiap putusan-putusannya. Melampaui sekedar analisis peraturan perundang-undangan atau referensi hukum yang ada atau sekedar menerapkan atau menjadi alat curah pasal-pasal tertentu atau peraturan tertentu kepada sebuah peristiwa kongkrit. Lebih lagi dari itu, hakim wajib berdialog interpersonal dengan hati nurani sendiri. Bahkan dengan Tuhan sekalipun. Mengadili tidak bisa diupayakan melalui cara seorang hakim menduplikasikan dirinya menjadi diri salah satu pihak sehingga apa yang dirasakan oleh salah satu pihak terinternalisasi ke dalam perasaaan diri hakim. Menegakkan keadilan sama sekali tidak ditujukan untuk salah satu pihak. Penggugat saja atau Tergugat saja atau anak saja dan seterusnya. Jika ini yang dipraktekkan niscaya keadilan yang terlahir sungguh abai rasionalitas dan menjadi parsial. Malahan potensi untuk terjadinya tumpukan masalah hukum yang baru bagai “gunung es” yang setiap saat dapat mencair, berrevolusi menjadi air bah besar.
Hadhanah dalam sistem peradilan perdata pada prinsipnya merupakan perkara tersendiri dan berdiri sendiri. Jika ia dikumulasikan dalam perkara perceraian karena talak atau gugatan perceraian tidak lebih adalah untuk memaksimalkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan karena senyatanya hadhanah adalah bagian integral dari akibat yang ditimbulkan oleh perceraian. Sebenarnya, jika disandingkan dengan harta bersama atau kerap disebut harta gono gini maka perihal ini tidaklah berbeda. Merupakan perkara tersendiri dan berdiri sendiri. Pengkumulasiannya dengan perkara perceraian juga demi dan untuk memenuhi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tidak ada yang dikurangi dan atau dipotong dalam setiap tahapan persidangan selama syarat menurut hukum acara yang menuntut agar dilakukan loncatan tahapan persidangan tidak ditemukan. Bahkan menjadi objek wajib mediasi yang apabila tidak ditempuh berakibat putusan bernilai hampa, batal demi hukum.
Kalau begitu, manakala hasil mediasi menyatakan sepanjang berkaitan dengan hak hadhanah para pihak sepakat untuk tidak mempersoalkannya dan atau mencabutnya, dan suami menyatakan kesanggupan untuk tetap memberikan nafkah terhadap anak yang sudah senyatanya di bawah asuhan isteri atau tinggal bersama isteri, apakah hakim yang memutus dengan tanpa menetapkan hak hadhanah itu berada pada salah satu pihak, isteri atau suami, tetap akan ikut andil dalam peningkatan angka kekerasan terhadap anak di Indonesia?. Berikut beberapa hukum dasar yang berkenaan dengan hadhanah dikemukakan.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Secara khusus, Pasal 28 B ayat (2) “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2.1. Pasal 51
- Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
- Setelah putusnya perkawinan seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
- Setelah putusnya perkawinan seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.2. Pasal 52
- Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
- Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 2 “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: …; b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4.1. Pasal 1 ayat (12)
Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
4.2. Pasal 14
- Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
- Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak:
- bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya;
- mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan
- memperoleh hak anak lainnya.
Simpul dari hukum dasar berkenaan dengan hadhanah di atas bahwasanya masalah perlindungan terhadap anak melibatkan jamak dimensi hukum. Bukan berdimensi tunggal. Orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara bahkan dunia turut terlibat dalam dimensi itu. Tegasnya adalah prinsip utama apapun yang dilakukan berkenaan dengan anak wajib mengacu kepada dasar kepentingan terbaik bagi anak. Tidak di luar atau selainnya. Jika ada alasan dan atau aturan hukum yang membenarkan untuk pemisahan anak atau pengasuhan anak di luar orang tua anak (di luar ayah ibu anak secara bersamaan, apakah ayah saja atau ibu saja, dan atau pihak lain yang dibenarkan) wajib demi kepentingan terbaik bagi anak serta menjadi pertimbangan terakhir. Memberikan penilaian inilah yang tidak dapat tidak untuk mempertimbangkan peristiwa atau fakta kongkritnya di persidangan. Dan tentunya yang lebih mengetahui adalah hakim pemeriksa perkara itu. Kalau begitu, tidak dapat disimpul bila seorang hakim tidak menetapkan pemegang hak hadhanah telah sama artinya hakim peradilan agama di Indonesia terlibat, turut serta, dan atau ambil bagian pada kerangka peningkatan kekerasan terhadap anak di Indonesia.
Penulis bersyukur pada suatu kesempatan pembelajaran, Mukti Arto (ketika itu WKPTA Jambi, sekarang Hakim Agung MARI) menghunjamkan semakin kokoh ke nurani bahwa tugas utama hakim adalah memastikan keadilan tegak bagi para pencarinya. Demi keadilan, bukan demi hukum atau demi selainnya. Yang diadili bukan orangnya tetapi perkaranya. Mengadili orang tentu saja tidak absolut mengadili perkara namun bila mengadili perkara adalah absolut akan termasuk orang di dalamnya. Begitu juga dengan keadilan. Inilah kiranya penyebab mengapa dewi keadilan kerap disimbolkan dengan sosok manusia dengan mata ditutup. Karena keadilan tidak boleh luntur atas dasar subjek yang diadili apalagi memperhitungkan siapa yang diadili dan atau memperoleh apa dari yang diadili. Perihal ini sesungguhnya telah paripurna termuat dalam risalah Umar Ibn Khattab yang hingga kini acceptable menjadi prinsip dasar utama sendi peradilan dunia. Namun apabila tetap berpandangan anak wajib ditetapkan kepada siapa pemegang hak hadhanah dalam putusan perceraian maka mekanisme hukum acara sungguh sudah mengakomodirnya. Wallohu a’lam!.
Sungai Penuh Kota Sakti, 25 November 2015.
[1]Ahmad Choiri mengemukakan bahwa hakim Peradilan Agama (menurut Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2013 berjumlah 3.633 personil) yang menjatuhkan putusan perceraian ikut andil terhadap meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak di Indonesia apabila mereka tidak mempertimbangkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang menjadi korban perceraian. Selengkapnya lihat Ahmad Choiri, Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian yang Terabaikan oleh Hakim Peradilan Agama, www.badilag.net, kolom artikel, di bagian penutup, hal. 22. Terakhir dikunjungi 11 November 2015.
Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas