Info Delegasi
Pengadilan Tinggi
Logo Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pengadilan Tinggi Agama Jambi

Jl. KH. Agus Salim, Kota Baru - Jambi

Telp. 0741-40131, Fax. 0741-445293, Email : ptajambi@yahoo.com

Logo Artikel

7191 BEDA ANTARA HADIAH DAN GRATIFIKASI

Beda antara Hadiah dan Gratifikasi

PERADILAN AGAMA

  

Membicarakan gratifikasi selalu menjadi topik menarik terkait etika, hukum dan pengelolaan keuangan. Khususnya dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan. Islam memandang gratifikasi dan hadiah memiliki makna serta implikasi yang berbeda namun memiliki kesamaan yang tipis.

Pada Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dijelaskan tentang gratifikasi mencakup berbagai jenis pemberian yang lebih luas. Ini termasuk pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, serta tiket perjalanan. Semua bentuk pemberian ini dianggap sebagai gratifikasi jika diterima dalam konteks yang tidak sesuai dengan ketentuan. Selain itu, gratifikasi juga meliputi fasilitas seperti penginapan, perjalanan wisata dan pengobatan gratis. Semua fasilitas tambahan ini, jika diberikan dalam konteks tertentu juga termasuk dalam kategori gratifikasi menurut penjelasan tersebut. (Lihat dalam Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 146).

Gratifikasi adalah bentuk pemberian atau hadiah yang diterima seseorang di luar hak atau gaji yang seharusnya mereka terima. Pemberian ini sering kali dilakukan dengan tujuan tertentu, seperti memengaruhi keputusan atau mendapatkan keuntungan pribadi. Gratifikasi pada umumnya melibatkan situasi di mana pemberian tidak dilakukan dengan transparans atau integritas dan dapat merugikan pihak lain. (Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 211).

Sebaliknya, hadiah dalam Islam adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan. Hadiah diberikan dengan niat tulus untuk memuliakan hubungan dan tidak ada tendensi negatif atau pamrih di baliknya. Dalam ajaran Islam, pemberian hadiah adalah sesuatu yang dianjurkan, selama tidak ada tujuan tersembunyi yang merugikan pihak lain.

Rasulullah saw menjelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abu Dawud melalui Sayyidatina Aisyah RA yang menunjukkan bahwa membalas pemberian dengan pemberian lainnya adalah diperbolehkan. Diriwayatkan oleh 'Aisyah Ra. berkata: "Rasulullah saw menerima pemberian   hadiah   dan   membalasnya".   (HR   Bukhari, Tirmidhi, Abu Daud, Ahmad).

Secara umum, hadits di atas menjelaskan bahwa membalas suatu kebaikan dengan kebaikan lainnya atau bahkan yang lebih mulia hukumnya diperbolehkan. Hadits lainnya menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh menolak pemberian yang diberikan dengan tulus dan tanpa niat buruk. Sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad saw bersabda:

“Kalau  aku  diundang  untuk  menyantap  kaki  kambing  depan dan  belakang,  niscaya  aku  penuhi  dan  kalau dihadiahkan  kepadaku kaki   kambing depan   dan   kaki   kambing   belakang,   niscaya   aku menerimanya”. (Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash'ath Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, hal. 212.)

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perbedaan antara hadiah yang diperbolehkan dan praktik gratifikasi cukup signifikan. Hadis-hadis Rasulullah saw menunjukkan bahwa menerima hadiah yang diberikan dengan niat baik dan tulus adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Berbeda praktik gratifikasi biasanya dilakukan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara merugikan orang lain atau merusak sistem, sedangkan hadiah dimaksudkan untuk saling membantu, meningkatkan kerjasama dan memuliakan orang lain. Gratifikasi yang menargetkan keuntungan pribadi atau merugikan pihak lain jelas berbeda dari hadiah yang memiliki tujuan untuk membangun hubungan yang harmonis dan positif.

Akibatnya dari praktik gratifikasi sangat merusak tatanan negara. Ketika gratifikasi dilakukan, kepercayaan publik terhadap para pelaku bisa hilang dan ini menimbulkan sikap saling curiga serta tuduh menuduh di masyarakat.     Jika gratifikasi terus dibiarkan, bisa menyebabkan negara menjadi tidak terkendali dan bergerak menuju kemunduran demokrasi. Sebaliknya, hadiah yang diberikan dengan niat baik dapat mempererat hubungan antar anggota masyarakat.   Keharmonisan dalam masyarakat akan lebih mudah tercipta ketika anggota masyarakat saling mendukung dan memberikan perhatian satu sama lain.

Oleh karena itu, segala bentuk praktik yang dapat merugikan negara apa pun bentuknya dan siapa pun pelakunya, terutama mereka yang memegang amanah dalam pemerintahan tidak boleh dibiarkan dan harus ditindak tegas. Tindakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan keadilan ditegakkan di masyarakat.       Menegakkan keadilan adalah tujuan utama dalam syariat Islam, yang merupakan ketentuan atau hukum Allah. (Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005, hal. 204).

Gratifikasi dan Dampaknya dalam Masyarakat

Gratifikasi dalam konteks jabatan atau kewenangan dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Ketika gratifikasi digunakan untuk memengaruhi keputusan atau tindakan seseorang dalam posisi jabatan hal ini dapat mengakibatkan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik. Penerimaan gratifikasi dapat menyebabkan praktik suap, yang merupakan tindakan yang sangat buruk dalam Islam.

Gratifikasi sering kali melibatkan pemberian yang tidak transparan dan dapat merusak integritas sistem. Ketika seseorang menerima gratifikasi, mereka mungkin merasa terikat untuk memenuhi permintaan atau harapan pemberi gratifikasi yang dapat mengarah pada keputusan yang tidak adil atau merugikan pihak lain. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dan bahkan kehancuran dalam masyarakat jika tidak ditangani dengan serius.

Peringatan dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an juga memberikan peringatan tentang bahaya memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Allah swt melarang penggunaan harta secara tidak sah dan suap kepada para pelaku yang dalam hal ini adalah pejabat pemerintahan. Dalam sebuah ayat, Allah swt berfirman:

Artinya: "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)

Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga keadilan dan tidak menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Larangan ini menunjukkan bahwa memanfaatkan jabatan atau kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui gratifikasi adalah tindakan yang sangat dilarang dalam Islam.

Wallahu a'lam bi showab

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat pagi, salam sehat, solid, speed, smart

Jambi, 6 Agustus 2025

 

Dr. Chazim Maksalina, M.H.

 

 

 


Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas