Permasalahan Hukum Harta Bersama
( Sebuah Dimensi Baru )
0leh : Drs. BAIDHOWI. HB, S.H
(Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Jambi)
PENDAHULUAN
Pada pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam tertulis : “ Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atasnama siapapun.”ds.,s;.,.;;’
Pada kata “.....harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan belangsung......” adalah sangat umum sekali, bisa diartikan suami yang berusaha sendiri sementara isteri di rumah, dan bisa juga berarti isteri yang berusaha sendiri suami di rumah, atau bisa juga berarti kedua suami-isteri masing-masing berusaha/bekerja pada tempat yang berbeda, atau pada satu tempt usaha/bekerja, sebagai contoh :
- Di Desa, suami pergi berladang atau menggarap sawah, isteri di rumah menyiapkan segala kepaerluan suami, atau kedua suami-isteri bersama berladang atau menggarap sawah, hal sepaerti ini dianggap sangat lazim.
Sedang kalau isteri berladang atau menggarap sawah, sementara suami tinggal di rumah. Dalam hal seperti ini dapat dianggap sangat tidak lazim.
- Di Kota / perkotaan, suami pergi ke Kantor (sesuai propesinya), isteri di rumah menyiapkan segala keperluan suami, atau kedua suami-isteri bekerja di Kantor (sesuai propesinya), juga hal seperti ini dapat dianggap sangat lazim.
Sedangkan kalau isteri bekerja di Kantor (sesuai propesinya) sementara suami tinggal di rumah, meskipun hal seperti ini banyak terjadi di perkotaan, namun karena kesibukan orang di perkotaan cenderung hidup acuh dengan urusan orang lain, sehingga hal seperti ini sering tak
nampak ke permukaan. Apakah hal sepertri ini dapat dianggap sesuatu yang lazim.
Kalau dari kedua contoh terakhir di atas dianggap tidak lazim. Apakah layak kalau harta-harta yang diperoleh dengan cara seperti itu selama dalam perkawinan harus dinyatakan Harta Bewrsama, lebih-lebih pada anak kalimat berikutnya ditekankan “.... tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun....”
PEMBAHASAN
Kajian permasalahan ini kamiangkat, sehubungan pada akhir-akhir ini kecenderungan warga masyarakat kita terutama dikalangan masyarakat bawah yang karena desakan ekonomi, mereka mencari solusi menjadi TKI ke Luar Negeri, dan untuk TKI dari kalangan suami/laki-laki, mungkin permasalahannya tidak serumit TKI dari kalangan wanita /isteri (TKW).
Khusus untuk TKW yang sudah atau sedang berstatus sebagai seorang isteri dari seorang laki-laki, apakah terhadap hal ini hukum (baca : hukum Islam) membenarkan ketika itu sang isteri yang mencari nafkah (harta kekayaan) yang semestinya hal tersebut merupakan kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga (vide pasal 80 KHI).
Apabila kita tilik bunyi pasal 79 ayat (3) KHI yang menyatakan : “ ...masing- masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum,....” kata : “berhak” di sini mengndung arti boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan, amat bergantung pada kesepakatan kedua pihak (suami- isteri).
Tetapi apabila kita hubungkan dengan ketentuan hukum yang mengatur tentang kewajiban suami (vide pasal 80 dan 81 KHI), kemudian bndingkan dengan kewajiban isteri sebagaimana disebut pasal 83 KHI, maaka secara hukum berarti seorang isteri tidak mempunyai kewajiban mencari nafkah (harta kekayaan).
Kemudian pula bila ketentuan pasal 1 huruf (f) KHI di atas, dihubungkan dengan pasal 97 KHI yang berbunyi : “ ... janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin.”
Kedua pasal tersebut bila diterapkan pada suami – isteri yang dalam situasi keadaan lazim seperti disebut di atas, tidak ada permasalahan. Tetapi manakala diterapkan dalam situasi keadaan tidak lazim seperti yang penulis contohkan di atas, apakah jerih payah isteri mencari nafkah (harta kekayaan) yang sementara suami tinggal diam di rumah, semata-mata harus dianggap sebagai harta bersama pula?
Hemat penulis dalam hal seperti ini, seorang hakim tidak harus dengan serta merta menyatakan hal ini sebagai harta bersama, dengan rasio alasan sebagai berikut :
- Secara Filosufis, bahwa maksud si pembuat Undang-Undang/ KHI ini,
Adalah untuk melindungi hak-hak isteri manakala mereka dicerai oleh suaminya.
Artinya : Seorang suami yang seharusnya berkewajiban melindungi isteri dan keluarganya baik nafkahnya, tempat tinggalnya, pakaiannya dan lain-lain, tidak dengan semena-mena karena ia (suami) merasa telah berusaha mencari nafkah termasuk harta kekayaan, lalu setelah ia menceraikan isterinya dibiarkan begitu saja seolah tanpa hak sedikitpun untuk memperoleh harta tersebut, dikarenakan suami merasa mencari dan berkuasa penuh atas harta itu.
Memang untuk kewajiban nafkah atas isteri yang dicerai tidak ada bagi suami, itu bila isteri terbukti nusyuz. Tapi untuk Harta Bersama tetap ada hak bagi isteri, karena keberadaan harta tersebut adalah ada andil isteri dalam memberikan motivasi dalam berbagai bentuk, adalah tidak harus serta merta dilupakan begitu saja oleh suami.
Akan berbeda halnya jika suami yang tinggal di rumah tanpa ada pekerjaan apapun, sementara isteri sibuk pontang-panting mencari nafkah termasuk harta kekayaan, belum lagi sesampainya di rumah isteri karena dituntut oleh kewajibannya harus melayani suami lahir dan bathin, lalu di mana peranan dan tanggung jawab seorang suami, apa hanya cukup menjaga, memelihara dan /atau mengamankan harta perolehan isteri itu saja ?
Rasanya tidak cukup bijak kalau hanya itu tugas dan fungsi suami. Dan kalau terjadi perceraian lalu suami minta (dalam gugat rekonpensi misalnya) agar harta-harta perolehan usaha isteri itu dibagi berdasarkan ketentuan pasal 97 KHI.
Memang bila berbicara soal penderitaan, baik yang dialami suami ketika ditinggal pergi usaha oleh isteri (baca; ke Luar Negeri) apalagi bertahun-tahun, tidak dapat dipungkiri seperti kebutuhan biologis, rasa kangen dan lain-lain. Tetapi apakah si isteri juga tidak mengalami penderitaan yang sama sebagai seorang isteri yang ia juga membutuhkan sentuhan biologis kasih sayang sang suami, tidak hanya itu tapi juga siang dan malam mungkin kurang tidur, kurang istirahat, dan makanpun boleh jadi ditahan, demi nafkah/harta untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan keluarga. Pertanyaannya; adilkah bila suami menuntut agar harta bersama itu dibagi sesuai kehendak pasal 97 KHI ?
- Secara Sosial, kaum Isteri kadang ditempatkan pada urutan kedua sesudah kaum lelaki, mungkin hal ini karea pengaruh adat budaya turun-temurun kehidupan manusia, di samping faktor fisik wanita tidak sekuat fisik kaum pria. Sehingga dalam struktur keluargapun suami/ laki – laki disebut Kepala rumah tangga dan isteri/wanita disebut ibu rumah tangga (vide pasal 79 KHI).
Sehingga ada pendapat, ketika mengisi formulir dalam daftar pekerjaan, untuk seorang isteri ditulis pekerjaan ibu rumah tangga,
Artinya apa? nilai seorang isteri sebagai ibu rumah tangga tetap diperhitungkan, karena itu sangat-sangat wajar bila isteri memeiliki hak terhadap harta bersama, meskipun yang bekerja/berusaha adalah kaum suami.
Tetapi sangat – sangat tidak wajar dan tidak lazim bila suami di rumah tanpa ada pekerjaan apapun dalam sebutan pekerjaan disebut bapak rumah tangga, dan untuk isteri yang bekerja/berusaha di luar rumah, juga sangat tidak wajar dan tidak lazim bila disebut ibu keluarga, karena forsi suamilah yang memiliki sebutan Kepala Keluarga, karena seluruh tanggung jawab nafkah, kiswah dan tempat tinggal secara yuridis harus ada di tangan suami, dan kalaupun isteri usaha/bekerja di luar itu tidak lebih dari membantu tugas suami.
Jadi kalau hasil usaha isteri sebagai harta baersama secara muthlak harus dibagi dua atas tuntutan sumi karena mendalilkan dasar hukum pasal 97 KHI, rasanya tidak tepat dan kurang bijak.
PEMECAHAN MASALAH
- Harus dilihat apakah bekerjanya seorang isteri, katakan ke Luar Negeri sebagai TKW benar-benar murni kesepakatan kedua pihak, atau kesepakatan semu karena ada maksud-maksud tertentu dari suami (baca: mengekploitasi isteri dan atau lain-lain) ? Kalau demikian halnya, maka sangat tidak layak bila suami karena terjadi perceraian, lalu menuntut dalam gugat rekonpensi bagian dari harta bersama itu.
- Apabila kesepakatan itu betul-betul murni dan tidak bernoda, baik dari pihak isteri ia bekerja secara benar dan tidak mengkhianati suaminya, maupun dari pihak suami ia betul-betul menjaga dan bahkan mengembangkan hasil usaha isterinya itu dengan baik, tidak pula bernoda dan mengkhianati isterinya, maka dalam hal seperti ini dapat diterima oleh akal sehat bila harta bersama tersebut dibagi sebagaimana dimaksud pasal 97 KHI itu.
- Jalan keluar yang cukup konperhensif, bila kedua belah pihak sebelum perkawinan dilangsungkan terlebih dahulu telah membuat kesepakatan bersama dalam perjanjian perkawinan sebagai yang diatur pasal 29 UU No.1 Th 1974 tentang Perkawinan, atau setidak-tidaknya sebelum salah satu pihak melakukan pekerjaan/usaha yang telah disepakati bersama itu, terlebih dahulu membuat perjanjian tertulis sebagai yang diatur dalam Buku Ketiga Hukum Perikatan KUH Perdata.
P E N U T U P
- Kesimpulan
- Dalam hal adanya tuntutan Harta Bersama yang diajukan ke Pengadilan, seorang hakim tidak harus dengan serta merta memutus untuk dibagi sebagaimana ketentuan pasal 97 KHI, tetapi selain harus dibuktikan diperolehnya harta tersebut selama dalam ikatan perkawinan, juga perlu dipertimbangkan dengan cara bagaimana harta-harta itu diperoleh.
- Ketika harta bersama itu jelas-jelas terbukti hasil usaha isteri, sedang jelas-jelas pula sedikitpun tidak adanya andil suami, baik secara moril maupun secara materiel atas harta itu, maka hemat penulis hakim dapat mengenyampingkan kehendak lahiriyah pasal 97 KHItersebut.
- Saran – saran
- Oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi telah cukup banyak mempengaruhi kompleksitas kehidupan masyarakat bangsa ini, maka seiring dengan perkembangannya itu, perlu diimbangi aturan hukum yang konperhensip, dinamis dan memiliki daya paksa yang realis dan rasionalis.
- Pemerintah perlu menyempurnakan aturan yang ada (baca: KHI) yang masih bersifat doktrin hukum, agar memiliki daya paksa dan daya jangkau yang optimal
Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas